Kasus Kekerasan dalam Pacaran: Perlindungan Hukum bagi Korban

Cinta yang Melukai: Mengurai Kekerasan dalam Pacaran dan Memastikan Perlindungan Hukum bagi Korban

Cinta seharusnya menjadi sumber kebahagiaan, dukungan, dan pertumbuhan. Namun, bagi sebagian orang, hubungan asmara justru menjelma menjadi medan kekerasan yang meninggalkan luka fisik maupun batin mendalam. Fenomena kekerasan dalam pacaran (KDP) atau dating violence adalah realitas pahit yang sering tersembunyi di balik tabir romantisme, namun dampaknya nyata dan merusak. Penting untuk memahami bahwa kekerasan dalam pacaran bukan hanya masalah pribadi, melainkan isu sosial yang memerlukan perhatian serius, terutama dalam konteks perlindungan hukum bagi para korbannya.

Anatomi Kekerasan dalam Pacaran: Bukan Sekadar Fisik

Kekerasan dalam pacaran seringkali diidentikkan dengan kekerasan fisik, seperti pemukulan atau penamparan. Namun, spektrum KDP jauh lebih luas dan seringkali lebih insidious:

  1. Kekerasan Fisik: Pukulan, tendangan, cekikan, dorongan, atau tindakan lain yang menyebabkan cedera fisik.
  2. Kekerasan Psikis/Emosional: Penghinaan, ancaman, intimidasi, manipulasi, gaslighting (membuat korban meragukan kewarasannya sendiri), pengisolasian dari teman/keluarga, atau kontrol berlebihan.
  3. Kekerasan Seksual: Pemaksaan aktivitas seksual, sentuhan yang tidak diinginkan, atau penyebaran foto/video intim tanpa persetujuan.
  4. Kekerasan Ekonomi: Penguasaan finansial, pemerasan, atau pelarangan korban bekerja/bersekolah.
  5. Kekerasan Digital/Siber: Perundungan siber, penyebaran informasi pribadi, stalking digital, atau doxing (penyebaran data pribadi) melalui media sosial.

Ironisnya, korban KDP seringkali terjebak dalam siklus kekerasan karena rasa cinta, harapan akan perubahan, ketakutan, rasa malu, atau bahkan karena ancaman dari pelaku. Mereka sering merasa sendirian dan tidak tahu ke mana harus mencari pertolongan.

Mengapa Korban Sulit Melapor?

Beberapa faktor membuat korban KDP enggan melaporkan kekerasan yang mereka alami:

  • Cinta dan Harapan: Keyakinan bahwa pelaku akan berubah atau bahwa kekerasan adalah "bagian" dari cinta.
  • Ketakutan: Ancaman dari pelaku, baik terhadap diri korban, keluarga, atau penyebaran aib.
  • Rasa Malu dan Stigma: Anggapan bahwa kekerasan adalah aib pribadi atau takut dihakimi masyarakat.
  • Ketergantungan: Baik emosional maupun finansial pada pelaku.
  • Kurangnya Informasi: Tidak tahu bahwa tindakan pelaku adalah tindak pidana atau tidak tahu mekanisme pelaporan.

Lanskap Hukum di Indonesia: Payung Perlindungan yang Terus Berkembang

Meskipun belum ada undang-undang spesifik yang secara eksplisit mengatur "kekerasan dalam pacaran" secara terpisah, korban KDP tetap memiliki payung perlindungan hukum yang dapat dimanfaatkan melalui berbagai peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
    Berbagai pasal dalam KUHP dapat diterapkan, antara lain:

    • Pasal 351 (Penganiayaan): Untuk kekerasan fisik yang mengakibatkan luka.
    • Pasal 335 (Perbuatan Tidak Menyenangkan/Ancaman Kekerasan): Untuk ancaman fisik atau psikis.
    • Pasal 368 (Pemerasan): Jika ada unsur pemaksaan untuk memberikan sesuatu.
    • Pasal 285-289 (Perkosaan dan Perbuatan Cabul): Untuk kekerasan seksual.
  2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT):
    Meskipun fokus utamanya adalah kekerasan dalam lingkup rumah tangga (suami-istri, anak, orang yang memiliki hubungan kekerabatan), semangat UU PKDRT adalah melindungi korban dari kekerasan berbasis relasi. Dalam beberapa kasus, aparat penegak hukum atau hakim dapat memperluas interpretasi "rumah tangga" atau "orang yang bekerja membantu rumah tangga" untuk mencakup hubungan yang sangat dekat dan intensif layaknya keluarga, termasuk pacaran, terutama jika ada tinggal serumah atau relasi dominan-subordinat yang kuat. Namun, ini masih menjadi perdebatan dan tantangan dalam praktiknya.

  3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE):
    UU ITE menjadi landasan hukum yang kuat untuk kekerasan dalam pacaran yang terjadi di ranah digital, seperti:

    • Pasal 27 ayat (3): Untuk pencemaran nama baik atau penghinaan melalui media elektronik.
    • Pasal 27 ayat (1): Untuk penyebaran konten asusila (termasuk foto/video intim tanpa persetujuan).
    • Pasal 29: Untuk ancaman kekerasan atau menakut-nakuti melalui media elektronik.
  4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS):
    Ini adalah tonggak penting dalam perlindungan korban. UU TPKS memiliki cakupan yang lebih luas dan tidak terbatas pada relasi keluarga atau perkawinan. Pasal-pasal di dalamnya dapat diterapkan untuk berbagai bentuk kekerasan seksual dalam pacaran, seperti:

    • Pelecehan seksual nonfisik atau fisik.
    • Pemaksaan kontrasepsi, sterilisasi, atau aborsi.
    • Penyiksaan seksual.
    • Eksploitasi seksual.
    • Dan bentuk kekerasan seksual lainnya yang diatur dalam undang-undang ini.
      UU TPKS juga memberikan penekanan pada hak-hak korban, termasuk hak atas restitusi, rehabilitasi, dan pendampingan.

Jalan Menuju Perlindungan Hukum bagi Korban

Jika Anda atau seseorang yang Anda kenal menjadi korban kekerasan dalam pacaran, berikut adalah langkah-langkah yang bisa diambil:

  1. Mencari Pertolongan Segera:

    • Keamanan Fisik: Prioritaskan keselamatan. Jika dalam bahaya, segera pergi ke tempat aman atau hubungi pihak berwenang (polisi).
    • Dukungan Emosional: Berbicara dengan orang yang dipercaya (teman, keluarga, konselor, psikolog).
  2. Mengumpulkan Bukti:

    • Catat Detail: Tanggal, waktu, tempat, jenis kekerasan, dan deskripsi kejadian.
    • Simpan Bukti Fisik: Foto luka, pakaian yang rusak. Lakukan visum et repertum di rumah sakit atau puskesmas sesegera mungkin (hasil visum adalah bukti sah di mata hukum).
    • Simpan Bukti Digital: Tangkapan layar percakapan (chat), rekaman suara, video, email, atau postingan media sosial.
    • Saksi: Jika ada, catat identitas dan kontak saksi.
  3. Melapor ke Pihak Berwenang:

    • Kepolisian: Datang ke kantor polisi terdekat (unit PPA/Perlindungan Perempuan dan Anak) untuk membuat laporan.
    • Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A): Lembaga ini menyediakan layanan pendampingan hukum, psikologis, dan medis bagi korban kekerasan.
    • Komnas Perempuan: Memberikan layanan pengaduan dan pendampingan.
    • Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau Organisasi Masyarakat Sipil (OMS): Banyak organisasi yang fokus pada perlindungan perempuan dan anak dapat memberikan bantuan hukum gratis.
  4. Memanfaatkan Hak-hak Korban:
    Korban memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan, pendampingan, restitusi (ganti rugi), rehabilitasi, dan pemulihan dari dampak kekerasan. Aparat penegak hukum dan lembaga terkait wajib memastikan hak-hak ini terpenuhi.

Membangun Masa Depan Tanpa Kekerasan

Kasus kekerasan dalam pacaran adalah cerminan dari ketidaksetaraan gender dan budaya yang masih mentolerir kekerasan. Untuk menciptakan masyarakat yang lebih aman, diperlukan upaya kolektif:

  • Edukasi: Meningkatkan kesadaran masyarakat, terutama generasi muda, tentang definisi kekerasan, tanda-tandanya, dan pentingnya hubungan yang sehat.
  • Penguatan Hukum: Meskipun UU TPKS telah menjadi kemajuan besar, diskusi tentang perluasan cakupan UU PKDRT atau pembentukan UU spesifik KDP tetap relevan untuk memberikan kepastian hukum yang lebih kuat.
  • Peningkatan Kapasitas Aparat Penegak Hukum: Memastikan polisi, jaksa, dan hakim memiliki sensitivitas gender dan pemahaman yang mendalam tentang kekerasan berbasis gender.
  • Jaringan Dukungan yang Kuat: Memperkuat peran P2TP2A, rumah aman, dan lembaga pendamping korban lainnya.

Kekerasan dalam pacaran bukanlah "drama percintaan" melainkan kejahatan yang melukai jiwa dan raga. Setiap korban berhak mendapatkan keadilan dan perlindungan. Dengan kesadaran kolektif, keberanian korban, dan dukungan sistem hukum yang responsif, kita bisa menciptakan ruang-ruang asmara yang benar-benar aman dan penuh hormat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *