Berita  

Isu konflik agraria dan hak masyarakat adat

Dari Hutan ke Meja Hijau: Pergulatan Panjang Hak Masyarakat Adat di Tengah Pusaran Konflik Agraria

Indonesia, dengan bentangan alamnya yang kaya dan keanekaragaman budayanya, menyimpan sebuah ironi yang mendalam: di tengah kemajuan pembangunan, masyarakat adat—penjaga asli kekayaan tersebut—sering kali menjadi korban. Mereka terhimpit dalam pusaran konflik agraria yang tak berkesudahan, di mana hak-hak tradisional mereka atas tanah dan sumber daya alam dipertanyakan, bahkan direnggut. Ini bukan sekadar sengketa lahan biasa, melainkan pertarungan eksistensial yang mengancam identitas, budaya, dan keberlanjutan hidup mereka.

Akar Konflik: Tumpang Tindih Klaim dan Hegemoni Negara

Konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat memiliki akar yang kompleks dan berlapis. Salah satu faktor utama adalah warisan kolonialisme yang menempatkan tanah sebagai milik negara (Domein Verklaring), yang kemudian diperkuat oleh undang-undang sektoral pasca-kemerdekaan. Meskipun Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960 mengakui hak-hak masyarakat adat, implementasinya sering kali tumpang tindih dengan berbagai izin konsesi yang dikeluarkan pemerintah untuk korporasi (perkebunan, pertambangan, kehutanan, infrastruktur).

Situasi ini menciptakan tumpang tindih klaim yang sistematis: di satu sisi, ada pengakuan formal negara atas hak pengelolaan hutan atau lahan kepada korporasi; di sisi lain, ada klaim historis dan turun-temurun masyarakat adat yang telah mendiami dan mengelola wilayah tersebut selama berabad-abad berdasarkan hukum adat mereka. Ketidakpastian hukum ini diperparah oleh absennya peta wilayah adat yang diakui secara resmi dan proses identifikasi yang berlarut-larut.

Hak Masyarakat Adat yang Terpinggirkan: Bukan Sekadar Tanah, tapi Identitas

Bagi masyarakat adat, tanah (atau tanah ulayat, wilayah adat) bukan hanya sebidang lahan untuk mencari nafkah. Ia adalah pusat kehidupan, sumber identitas budaya, tempat spiritual, dan pondasi kearifan lokal yang telah terbukti menjaga keseimbangan ekosistem. Tanah adalah ibu, warisan leluhur, dan masa depan generasi penerus. Ketika tanah mereka terancam, yang terancam adalah seluruh sendi kehidupan dan eksistensi mereka.

Meskipun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 (sering disebut Putusan MK 35/2013) telah menegaskan bahwa "hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat, bukan hutan negara," implementasinya masih sangat lambat dan menghadapi berbagai tantangan. Pengakuan wilayah adat melalui peraturan daerah atau penetapan oleh pemerintah pusat masih minim. Akibatnya, banyak masyarakat adat yang mempertahankan wilayahnya justru dituduh melakukan penyerobotan, bahkan mengalami kriminalisasi dan kekerasan. Para pejuang agraria dan lingkungan dari kalangan adat sering menjadi target, menghadapi intimidasi, penangkapan, hingga ancaman fisik.

Dampak Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan

Konflik agraria ini membawa dampak yang menghancurkan bagi masyarakat adat:

  1. Penggusuran dan Kehilangan Mata Pencarian: Hilangnya akses terhadap tanah berarti hilangnya sumber pangan, obat-obatan tradisional, dan penghidupan. Ini mendorong mereka ke dalam kemiskinan struktural.
  2. Pergeseran Budaya dan Identitas: Terputusnya hubungan dengan tanah adat berarti terputusnya transmisi pengetahuan lokal, ritual adat, dan bahasa, yang mengikis identitas mereka.
  3. Kerusakan Lingkungan: Pembangunan skala besar seringkali tidak mempertimbangkan kearifan lokal masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya. Akibatnya, terjadi deforestasi, pencemaran air dan tanah, serta hilangnya keanekaragaman hayati.
  4. Konflik Sosial dan Kekerasan: Perpecahan di dalam komunitas atau antara komunitas adat dengan pihak luar seringkali berujung pada kekerasan dan hilangnya nyawa.

Jalan Menuju Keadilan: Pengakuan, Perlindungan, dan Partisipasi

Mengatasi konflik agraria dan melindungi hak masyarakat adat memerlukan pendekatan yang komprehensif dan berkeadilan:

  1. Percepatan Pengesahan RUU Masyarakat Adat: Undang-undang ini krusial untuk memberikan kerangka hukum yang jelas mengenai identifikasi, pengakuan, dan perlindungan hak-hak masyarakat adat secara holistik.
  2. Reforma Agraria Sejati: Bukan sekadar redistribusi tanah, tetapi juga pengembalian tanah-tanah adat yang telah direnggut dan jaminan kepastian hukum atas wilayah adat yang belum diakui.
  3. Pemetaan Partisipatif dan Penetapan Wilayah Adat: Melibatkan masyarakat adat secara aktif dalam proses pemetaan wilayah mereka adalah kunci untuk mencapai pengakuan yang akurat dan legitimate.
  4. Penegakan Hukum yang Adil: Menghentikan kriminalisasi terhadap masyarakat adat, mengusut tuntas kasus-kasus kekerasan, dan memastikan keadilan bagi korban.
  5. Dialog Multi-Pihak: Mendorong dialog konstruktif antara pemerintah, korporasi, dan masyarakat adat untuk mencari solusi yang berkelanjutan dan saling menguntungkan.
  6. Penguatan Kapasitas Komunitas Adat: Memberdayakan masyarakat adat agar mampu mengelola wilayahnya secara mandiri dan berpartisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan.

Kesimpulan

Pergulatan hak masyarakat adat di tengah pusaran konflik agraria adalah cerminan dari tantangan keadilan sosial dan keberlanjutan pembangunan di Indonesia. Mengakui dan melindungi hak-hak mereka bukan hanya soal memenuhi amanat konstitusi atau menghormati kemanusiaan, tetapi juga investasi penting bagi pelestarian lingkungan, keanekaragaman hayati, dan kekayaan budaya bangsa. Masa depan Indonesia yang adil dan lestari sangat bergantung pada bagaimana kita menghargai dan memberdayakan para penjaga bumi ini. Dari hutan hingga meja hijau, perjuangan untuk hak-hak adat harus terus disuarakan hingga keadilan benar-benar tegak.

Exit mobile version